Ngopi Zaman Now: Coffeeshop di Mata Anak Muda Solo

Coffeshop memiliki daya tariknya tersendiri, tidak hanya bagi anak-anak muda Generasi Z tetapi juga bagi para wisatawan.

Tidak sedikit orang yang memandang sebelah mata keberadaan coffeeshop. Padahal, ada fakta-fakta menarik di balik maraknya fenomena coffeeshop di Indonesia, terutama di Kota Solo. Untuk memahami lebih dalam hal tersebut, Karavan Media Network & Research menyelenggarakan diskusi bertajuk Ngopi Zaman Now: Coffeeshop di Mata Anak Muda Solo – Tren, Citra, dan Masa Depan, yang diselenggarakan di Tiga Serangkai Smart Office pada Selasa, 6 Mei 2025.

Acara yang diikuti oleh Himpunan Mahasiswa Komunikasi Fisip UNS dan mahasiswa magang Tiga Serangkai ini menjadi ruang diskusi publik untuk membahas hasil riset internal yang dilakukan oleh Configured Indonesia di Solo, sebagai bagian dari observasi proyek Hybrid. Beberapa narasumber yang hadir antara lain Nabhan Fadlan (Manajer Configured.id), Retno Wulandari, S.H., M.Si. (Ketua Badan Promosi Pariwisata Kota Surakarta), Catur Sugiarto, S.E., M.S.M., M.Rech., Ph.D. (Presiden Association on Indonesia Business Incubator), dan Tesa Pujiastuti, seorang penikmat kopi. Para narasumber memberikan perspektif mereka masing-masing mengenai fenomena menjamurnya coffeeshop di Kota Solo.

Sebagai pembicara pertama, Bapak Nabhan Fadlan memaparkan data mengenai tren pertumbuhan coffeeshop di Solo. Salah satu temuan menarik adalah bahwa mayoritas pengunjung coffeeshop didominasi oleh generasi Z. Tujuan mereka pun beragam, tetapi yang paling dominan adalah mencari vibe yang cocok untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan.

Ibu Retno Wulandari memandang fenomena tersebut sebagai hal yang positif karena mencerminkan adanya geliat masyarakat urban. Coffeeshop, menurutnya, bisa menjadi unique selling point bagi Kota Solo. Ia menyoroti coffeeshop di kawasan Kampung Batik Laweyan yang memanfaatkan arsitektur bangunan lama dengan estetik modern. Upaya tersebut ternyata mampu menarik wisatawan dari luar kota yang rela datang ke Kota Solo hanya untuk ngopi. Ia juga menambahkan bahwa aktivasi-aktivasi seperti ini, jika dinarasikan dengan baik dan efektif, dapat menciptakan multiplier effect bagi perekonomian Kota Solo.

Senada dengan itu, Bapak Catur Sugiarto menekankan pentingnya kreativitas dan ekosistem dalam mendukung kewirausahaan. Menurutnya, coffeeshop dan coworking space merupakan ruang yang bisa mendorong lahirnya ide-ide kreatif dan menjadi bagian dari ekosistem wirausaha itu sendiri.

Tidak Sekadar Pahit dan Elit

Bicara soal kopi, banyak orang langsung terbayang efek ‘bikin melek’. Menurut Bapak Catur Sugiarto, hal inilah yang dipercaya anak-anak muda pencinta kopi. Minum kopi membuat mereka merasa lebih fokus dan terjaga, sehingga lebih produktif dalam menyelesaikan pekerjaan.

Sementara itu, Ibu Tesa Pujiastuti memandang pahitnya kopi sebagai bagian dari pengalaman yang menarik. Ia, yang berasal dari keluarga dengan budaya ngopi, menegaskan bahwa tidak semua kopi pahit itu tidak enak, bahkan banyak yang justru terasa nikmat. Oleh karena itu, ia pun mengajak anak-anak muda untuk sesekali mencoba kopi pahit agar bisa merasakan cita rasa kopi yang autentik.

Melalui kegiatan ini, diharapkan para peserta tidak hanya mendapatkan wawasan mengenai fenomena maraknya coffeeshop di Solo, tetapi juga memiliki kesempatan untuk bertukar gagasan dan melatih kemampuan berpikir analitis atas fenomena tersebut. Coffeeshop pun pada akhirnya tidak lagi dipandang sebagai ruang elit yang sulit dijangkau oleh masyarakat. Sebaliknya, coffeeshop dilihat sebagai ruang yang mampu mendukung pertumbuhan ekonomi-ekonomi kreatif di Kota Solo.