Mengapa Menulis Tidak Lagi Menyenangkan?

Kesenangan, kegembiraan, dan kenyamaan semestinya menjadi aspek yang perlu dipertimbangkan dalam berkarya, termasuk menulis. Sayangnya ada momen di mana kita kesulitan menemukan hal-hal tersebut.

Menulis seharusnya menjadi pengalaman yang menyenangkan dan menggembirakan, atau minimal pengalaman yang melegakan. Writing is medicine. It is an appropriate antidote to injury. It is an appropriate companion for any difficult change, kalau kata Julia Cameron. Namun, ada kalanya kegiatan menulis menjadi tidak lagi menyenangkan dan menggembirakan, apalagi melegakan. Sebaliknya, kegiatan menulis malah menciptakan beban pikiran yang berujung pada kemarahan dan frustrasi. Apalagi yang menjadi penyebabnya bukanlah writers’ block atau kurangnya inspirasi yang bisa ditangani dengan lebih mudah.

Ada beberapa alasan yang jauh lebih mendasar mengapa kegiatan menulis menjadi tidak lagi menyenangkan. Apabila kita merasakan hal-hal berikut ini dalam perjalanan kepenulisan kita, bisa jadi kita perlu mengevaluasi kembali apa yang sedang kita kerjakan.

1. Tekanan dan Tuntutan
Inilah alasan utama kegiatan menulis menjadi tidak lagi menyenangkan. Menulis tidak lagi menjadi sebuah proses kreatif yang membebaskan, melainkan proses untuk memenuhi sebuah kewajiban dan tuntutan. Mau tidak mau kita harus memenuhi tuntutan tersebut dalam batas waktu yang telah ditentukan. Hal tersebut bukan tidak mungkin mengurangi keasyikan dalam menulis.

2. Kehilangan Tujuan
Ada kalanya kita merasa tidak mengetahui tujuan kita dalam melakukan sesuatu, termasuk mengapa kita harus menulis. Bukan hal yang mustahil ketika tiba-tiba kita kehilangan alasan mengapa kita menulis. Sesuatu yang dikerjakan tanpa ada tujuan yang jelas biasanya mereduksi motivasi kita dalam mengerjakannya karena merasa bahwa yang kita kerjakan sia-sia. Inilah yang pada akhirnya mengurangi kegembiraan dalam menulis.

3. Perfeksionisme Berlebihan
Menjadi sempurna memang dambaan setiap manusia. Namun, kesempurnaan pada akhirnya hanya ada dalam pikiran manusia saja. Tidak ada sesuatu yang benar-benar sempurna, karena pikiran kita yang selalu mencari celah dalam melihat ketidaksempurnaan tersebut. Terlalu terpaku pada kesempurnaan membuat kita merasa terbebani untuk memenuhinya. Inilah yang melelahkan. Proses penulisan pun menjadi kurang mengalir dan jauh dari menyenangkan.

4. Takut Kritikan
Perasaan ingin menjadi sempurna biasanya berakar dari ketakutan dan kekhawatiran dari kritikan orang lain. Takut atau khawatir akan kritikan dan penilaian negatif orang lain hanya akan membuat kita selalu merasa kurang dan tertekan untuk memulai (apalagi menyelesaikan). Ketakutan ini pada akhirnya menghambat daya kreasi kita dan menciptakan perasaan tidak nyaman dalam berkarya.

Bagaimana Selanjutnya?

Kesenangan, kegembiraan, dan kenyamanan semestinya menjadi aspek yang diperlukan dalam berkarya, termasuk menulis. Memang kita tidak bisa terus-menerus merasakan hal tersebut saat menulis, apalagi jika kegiatan menulis merupakan tanggung jawab yang perlu kita penuhi setiap hari. Wajar ketika muncul perasaan bosan, malas, dan lelah. Perasaan-perasaan tersebut pada akhirnya menggiring kita ke dalam ketidaknyamanan.

Namun, inilah sebenarnya wujud dari ujian penentu apakah kita benar-benar tertarik dengan kegiatan tulis-menulis atau tidak. Di saat-saat seperti inilah kita membutuhkan kedisiplinan dan komitmen. Bisa jadi kita hanya perlu mengambil jarak sejenak dari rutitinas menulis, mengistirahatkan pikiran, dan merefleksikan apa yang sedang kita kerjakan. Dari sanalah kita dapat menggali perspektif baru dan lebih segar terhadap perjalanan kepenulisan kita.

Sebagian orang mungkin merasa bahwa menulis bukanlah bidang yang ingin mereka tekuni. Sebagian yang lain pada akhirnya menyadari bahwa kecintaannya dengan kegiatan menulis jauh lebih besar daripada kesulitan yang mereka temui. Ketika fase tersebut berhasil dilalui, mereka yang memutusukan untuk tetap melanjutkan perjalanan akhirnya berhasil naik ke level yang lebih tinggi.