Semangat Meriset Perlu Dibangun dalam Masyarakat

Kebiasaan meriset pada dasarnya telah dimiliki oleh masyarakat umum di Indonesia, hanya saja pendokumentasiannya masih sangat lemah. Semestinya riset bisa dilakukan oleh semua orang.

Apabila kita ingin menanam pagi, kita tidak bisa seketika langsung menanamnya tanpa ilmu sama sekali. Kita tidak bisa menanam padi di sembarang tempat atau menanam asal-asalan tanpa teknik yang tepat. Ada faktor-faktor yang perlu kita pahami dan pertimbangkan, seperti misalnya di mana tanah yang cocok untuk ditanami padi, kapan waktu yang efektif untuk menanam padi, dan bagaimana cara paling tepat merawat padi. Menjawab dan memenuhi faktor-faktor tersebut sangatlah penting untuk menghasilkan tanaman padi yang subur. Minimal untuk memastikan bahwa padi tersebut dapat hidup. Proses menjawab pertimbangan-pertimbangan inilah contoh aplikatif dari sebuah proses riset. 

Riset pada dasarnya merupakan upaya meyakini sebuah kebenaran melalui serangkaian proses yang tepat. Upaya ini sangatlah penting dalam menemukan kebenaran dan mendeskripsikannya secara detail sebagai pijakan dalam memutuskan sesuatu. Riset sangatlah perlu untuk menghindari klaim sepihak yang belum tentu kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Riset membantu dalam mendekatkan kita dengan kebenaran.

Riset diperlukan dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian dan perubahan seperti sekarang. Ambil contoh pedagang pasar yang saat ini dihadapakan pada perkembangan IT dan internet. Mau tidak mau, mereka perlu beradaptasi dengan perkembangan teknologi tersebut agar dapat mengembangkan dan juga melanggengkan usahanya. Untuk bisa memanfaatkan internet sebagai lapak online yang dapat menjangkau pasar nasional maupun global, butuh yang namanya riset. Riset yang dapat dilakukan antara lain bagaimana cara membuat web atau lapak online, bagaimana menginput produk ke dalam web, bagaimana proses perpajakan, dan bagaimana prosedur pengiriman. Dengan riset yang tepat, pedagang pasar akan terbantukan dalam proses migrasinya ke ranah digital.

Di Indonesia sendiri riset terasa dimonopoli oleh dunia akademik maupun litbang. Bukan hal yang mengejutkan karena masih kuatnya pengetahuan positivistik di Indonesia. Riset harus sesuai standar dan menghasilkan sesuatu yang pasti. Dengan kata lain riset baru bisa dianggap benar-benar riset apabila ada proposal, ada izin untuk pengolahan data, harus ada pengujinya, dan juga ada pembimbingnya. Syarat seperti itu tentu hanya bisa dilakukan oleh dunia akademik maupun instansi litbang. Lalu bagaimana dengan masyarakat umum? Pedagang pasar, petani, tukang becak, atau penjual gorengan misalnya. Tentu mereka akan kesulitan memenuhi tuntutan tersebut. Hasil buah pikiran masyarakat umum seperti mereka pada akhirnya hanya dianggap akal rasional saja dan belum bisa disebut riset yang .

Butuh Pendampingan dan Fasilitas

Kebiasaan meriset pada dasarnya telah dimiliki oleh masyarakat umum di Indonesia, hanya saja pendokumentasiannya masih sangat lemah. Apalagi pengakuan atas hak kekayaan intelektual masyarakat juga masih sangat minim. Hal-hal tersebut menjadi alasan tersendiri kenapa riset yang dilakukan oleh masyarakat umum terasa belum memiliki ruang.

Semestinya riset bisa dilakukan oleh semua orang. Apabila ada pencatatan dan pendokumentasian, maka itu sudah bisa dianggap riset. Pencatatan atau pendokumentasian pun tidak harus melulu dalam bentuk tulisan ilmiah, bisa juga dalam bentuk gambar, foto, diagram dan sebagaianya.

Selain itu alokasi anggaran untuk riset di Indonesia juga masih sangat terbatas. Riset masih dianggap hanya untuk menghabiskan dana dengan hasil yang kurang aplikatif dan sekadar menjadi tumpukan kertas. Padahal anggaran riset tidak melulu harus digunakan oleh perguruan tinggi atau litbang saja. Anggaran tersebut bisa diberikan langsung kepada masyarakat, baik dengan menggandeng perguruan tinggi atau perusahaan untuk membantu mereka mensistemasi riset-riset yang telah dilakukan masyarakat umum secara otodidak.

Pemerintah memiliki peran dalam membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi masyarakat umum agar memudahkan mereka dalam melakukan riset. Misalnya dengan memberikan kemudahan akses kepada mereka untuk mematenkan hak cipta atau membuat petunjuk riset dalam bentuk buku, modul, atau panduan teknis. Pendampingan masyarakat secara langsung juga dapat menjadi cara yang efektif untuk mewujudkan riset yang ramah bagi masyarakat umum. Sehingga hasil olah pikir masyarakat umum akan terdokumentasikan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila pemerintah dan perguruan tinggi tidak peduli dengan kekayaan intelektual tersebut, bukan hal yang mustahil apabila kekayaan intelektual masyarakat kita bakal diklaim oleh pihak lain.

Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si.
Ketua Laboratorium S2 Sosiologi UNS