Di era digital seperti sekarang, bias dan polarisasi informasi bukanlah sesuatu yang langka. Bisa jadi hal tersebut sering muncul dalam keseharian kita, hanya saja kita jarang sekali menyadarinya. Ambil contoh fenomena pemilihan umum yang beberapa kali memunculkan kegaduhan di media sosial. Setiap pendukung calon memiliki ribuan argumen positif dari tokoh yang mereka dukung. Pun mereka tidak pernah kehabisan argumen negatif dari tokoh yang tidak mereka dukung. Dalam skala yang lebih remeh pun tidak jarang keributan di media sosial terjadi berlarut-larut. Bisa dipastikan mereka yang terlibat di dalamnya memiliki argumen yang mereka bela mati-matian.
Algoritma dan teknologi personalisasi yang sekarang diaplikasikan di hampir seluruh platfom dan mesin pencari di internet pada akhirnya memunculkan terjadinya fenomena filter bubble (gelembung tersaring) semacam itu. Algoritma tersebut dirancang untuk mengumpulkan data tentang preferensi dan perilaku pengguna yang kemudian menyajikan konten sesuai dengan minat dan pandangan mereka. Algoritma ini pun menyaring atau menyembunyikan konten yang tidak mereka inginkan sehingga menghasilkan “gelembung-gelembung” informasi seragam di sekitar mereka yang hanya sesuai dengan sudut pandang mereka saja.
Dampak dari filter bubble adalah pengguna internet secara tidak sadar terjebak ke dalam lingkaran informasi terbatas yang hanya memperkuat dan mengonfirmasi pandangan mereka sendiri. Mereka merasa mengetahui banyak hal tetapi sebatas pada apa yang mendukung sudut pandangnya saja. Masuk akal jika kemudian mereka terisolasi dari sudut pandang alternatif, informasi lain, atau pandangan yang berbeda. Hal ini tentu dapat mempersempit persepsi atas sesuatu yang ada di luar sudut pandang yang mereka ketahui.
Dalam skala yang lebih luas, filter bubble dapat memengaruhi keberagaman informasi yang ada di masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, bukan hal yang tidak mungkin kesempatan dialog antarkelompok yang berbeda pandangan menjadi kurang efektif ketika banyak individu tidak menyadari telah terperangkap ke dalam filter bubble ini. Apabila hal tersebut semakin dibiarkan, kita hanya tinggal menunggu waktu terjadinya lebih banyak kegaduhan.
Meskipun algoritma dan teknologi telah dirancang sedemikian rupa untuk mengumpulkan data preferensi pengguna, penggunalah yang pada dasarnya memiliki pilihan dalam menggunakan internet. Merekalah yang memiliki kendali agar tidak terjebak ke dalam filter bubble. Pengguna internet perlu menyadari adanya jebakan tersebut agar mampu meminimalkan efek negatif yang menyertainya. Sesekali mereka perlu melibatkan diri dalam diskusi yang lebih inklusif, bersedia melihat perspektif lain, dan membuka diri dengan sumber informasi yang beragam. Dengan inilah mereka akan mampu menyikapi realitas secara jernih dan menerima keberagaman dengan pikiran yang lebih matang.